Minggu, 06 Februari 2011

LUASNYA AMPUNAN ALLAH

Allah swt. berfirman dalam Hadits Qudsi :
" Tidak pernah Aku murka kepada seseorang seperti murka-Ku kepada hamba yang telah melakukan ma'siat yang dipandang oleh dirinya sendiri sebagai dosa besar, dan berputus asa dari ampunan-Ku.
Sekiranya Aku menyegerakan hukuman atau sifat-Ku suka tergopoh-gopoh, pasti Kusegerakan hukuman itu terhadap orang-orang yang berputus asa dari rahmat-Ku.
Dan sekiranya Aku belum memberi rahmat kepada hamba-hamba-Ku, melainkan karena takutnya mereka berdiri di hadapan-Ku, sudah barang tentu Aku mengucapkan terima kasih kepada mereka dan Aku jadikan pahala mereka itu di antaranya ialah rasa aman dikala semestinya mereka merasa ketakutan". (HQR Rafi'i Najih bin Muhammad bin Muntaji' dari datuknya)

Allah swt. memberitahukan kepada kita bahwa Dia tidak pernah melakukan kemurkaan terhadap seorang hamba-Nya sebagaimana murka-Nya terhadap hamba-Nya yang pernah mengerjakan ma'siat, baik kecil maupun besar dan orang itu merasa ngeri serta menganggap perbuatannya satu dosa yang sangat besar tidak termasuk dalam lingkungan ampunan Allah.
Dalam hadits itu diterangkan bahwa sekiranya Allah suka terburu-buru menjatuhkan hukuman terhadap hamba-Nya, niscaya Dia telah menjatuhkan hukuman (siksaan) kepada orang-orang yang berputus asa dari rahmat dan ampunan-Nya.
Dalam hadits dapat kita ambil beberapa kesimpulan
1. Allah swt. memang betul-betul luas rahmat dan kasih sayang-Nya. Dia tidak mudah menjatuhkan hukuman dan siksaan kepada hamba-Nya. Dia membukakan pintu taubat selebar-lebarnya. barangsiapa yang merasa melakukan kesalahn kepada Allah swt. segeralah rujuk kepada-Nya dan taubat dengan penuh keyakinan, pasti diterima Allah taubatnya.
 2. Sifat terburu-buru dan tergesa-gesa bukan sifat Allah swt. Sifat itu adalah sifat iblis dan syetan. Karena itu kita manusia tidak boleh bersifat terburu-buru dan tergesa-gesa, agar kita tidak termasuk golongan syetan. Segala tindakan yang dilakukan perlu dipertimbangkan semasak-masaknya diselidiki sedalam-dalamnya, sehingga keputusan atau hukuman yang akan diambil telah diperhitungkan akibatnya.
3. 'Uqubah atau hukuman Allah pada pokoknya ada dua :
Hukuman yang dilaksanakan di dalam dunia, mungkin langsung mungkin ditangguhkan beberapa hari, minggu, bulan atau tahun.
Hukuman atau siksaan yang ditangguhkan mungkin dimaksudkan, untuk memberi tempo kepada yang bersangkutan untuk bertaubat. Apabila sudah tepat waktunya, baru hukuman itu dijatuhkan dan orang bersangkutan pun akan binasa.
Adapun hukuman Allah di Dunia berbentuk : (a) penyakit, mulai yang sekecil-kecilnya seperti tertusuk duri atau jarum, sampai yang sebesar-besarnya seperti lepra, TBC, jantung, penyakit jiwa dsb. (b) duka cita, kesulitan dan kesukaran, banyak hutang, dsb. (c) kesenangan, kemewahan harta benda yang banyak sehingga senatiasa repot dan sibuk mengurusinya. Kelihatannya rahmat, namun tidak lain adalah siksa belaka.
Hidup ini benar-benar penuh dengan ujian dan perjuangan.
4. Sifat putus asa dari rahmat Allah termasuk dosa besar (al-kabair) yang pantas dengan segera mendapatkan hukuman dan siksaan Allah. Meskipun demikian, Allah tidak segera menjatuhkan hukuman dan siksaan terhadapnya, karena sifat tergesa-gesa dan terburu-buru demikian, bukanlah sifat Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Di dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang menunjukkan bahwa Allah akan mengampuni orang-orang yang bersalah, orang-orang yang melakukan ma'siat, orang-orang yang memboros, dan dosa lainnya betapa pun besarnya, kecuali dosa su'ul khatimah karena syirik.
Di dalam Al-Qur'an terdapat anjuran untuk segera kembali bertaubat dan jangan menangguhkannya Kita tidak mengetahui bilamana kita akan meninggal dunia. Sekiranya kita menangguhkan waktu taubat, mungkin kita mati dalam keadaan berlumuran dosa. Na'udzu billah min dzalik!
Allah berfirman :
"Katakanlah (wahai Muhammad) : "Wahai hamba-hamba-Ku yang etlah berlebih-lebihan merugikan diri sendiri. Janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa, karena Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q.S. 39 az-Zumar : 53)

"Mereka (Malaikat) berkata (kepada Nabi Ibrahim) : "Kami membawa berita gembira yang benar kepadamu Karena itu janganlah engkau menjadi orang yang berputus asa". (Nabi Ibrahim) berkata : "Tiadalah orang yang berputus asa dari rahmat Rab-nya kecuali orang yang sesat". (Q.S. 15 al-Hijr : 55-56)

"Sesungguhnya Allah itu tidak akan mengampuni dosa  mempersekutukan (sesuatu) dengan-Nya, dan Dia mengampuni dosa selain dosa syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya". (Q.S. 4 an-Nisa : 48)

"Wahai Bani Adam! Apabila engkau mengajukan permohonan dan mengharap kepada-Ku, Ku-ampuni segala yang ada padamu tanpa perduli. Wahai Bani Adam! sekalipun dosamu bertumpuk-tumpuk hingga setinggi langit, tapi kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku, niscaya Ku-ampuni dosamu. Wahai Bani Adam! Sekiranya engkau datang dengan dosa setimbang bumi, kemudian engkau menemui Aku (mati) dalam keadaan tidak mensekutukan Aku dengan sesuatupun, niscaya Aku karuniakan ampunan setimbang dosa itu". (HQR Turmudzi yang bersumber dari Anas r.a.)

"Sekiranya kalian melakukan kesalahan sampai memenuhi langit, kemudian kalian bertaubat, pasti Allah mengampuni kalian". (HQR Ibnu Majah dengan sanad yang jayid, yang bersumber dari Abu Hurairah r.a.)

Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud "taubat" di atas adalah "taubat nashuha", artinya taubat itu dari hatinya sesudah melalui pemikiran yang mendalam dan kembali pada jalan yang benar, serta merasa sangat menyesal atas perbuatan yang telah ditempuhnya itu. Ia memutuskan dalam hatinya untuk meninggalkan perbuatan itu, menghindarinya jauh-jauh serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi kesalahan dan perbuatan dosa.
Taubat nashuha mengandung tiga unsur: menyesal, menjauhkan diri dari dosa dan tidak akan mengulanginya lagi. Hal ini dapat terjadi apabila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, dengan perasaan suci, niat yang bersih, penuh kepercayaan bahwa ia taubat dihadapan Allah Yang Maha Mengetahui segala rahasia yang tersembunyi di dalam lubuk hati. Allah Maha Melihat apa-apa yang dikerjakan hamba-Nya yang telah lalu, yang sekarang dan yang akan datang.
Apabila ternyata taubatnya tanpa merasa berdosa, dan tidak berhenti mengulangi perbuatan dosa itu serta tidak berusaha memperbaiki diri, maka taubatnya disebut taubat palsu dan hanya menipu dirinya sendiri. Orang itu termasuk dalam lingkungan bunyi ayat :
" Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Sebenarnya mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar dan tidak merasa". (Q.S. 2 al-Baqarah : 9)
Tanpa disadari, ia bukan taubat tapi menambah dosa yaitu menipu dirinya sendiri, seakan-akan menipu Allah dan Kaum Mu'minin. Oleh karena itu taubat nashuha sebelum terlambat pasti akan diterima Allah swt. 



JALAN KE SURGA

                                       Firman Allah dalam Hadits Qudsi : 
" Sesungguhnya Akulah Allah, tiada Tuhan yang sebenarnya berhak diibadahi kecuali Aku. Rahmat (kasih sayang)-Ku telah mendahului kemurkaan-Ku. Barangsiapa yang naik saksi bahwa tiada Tuhan yang sebenarnya berhak diibadahi kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, niscaya ia berhak mendapat surga". (HQR ad-Dailami yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a.)

Arti Rahman dalam kata "rahmati" adalah kasih sayang. Rahman atau rahmat manusia beda dari Rahmah Allah.
Pada manusia, rahmah berarti kasih sayang yang mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan atau kebajikan kepada orang yang dikasihi. Terkadang semata-mata dipakai untuk perbuatan kebajikan saja, tanpa ada kasih sayang yang mendorong. Rahmat dari Allah berarti pemberian ni'mat dan karunia bukan dalam arti belas kasihan.
Allah bernama dan bersifat "Ar-Rahman" yang kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu yang ada, dan bersifat "Ar-Rahim" yang menunjukkan kasih sayang, karunia dan rahmat-Nya yang banyak sekali.
Asal arti "ghadlab" dari kata "ghadlaba", ialah meluap dan mendidihnya darah dalam hati atau jantung, yang begitu cepat naik ke kepala, sehingga terlihat pengaruhnya pada air muka dan matanya yang menjadi merah padam. Musuhnya atau orang yang mereka marahi pada pandangnnya menjadi kecil, seolah-olah dapat ditelannya bulat-bulat. Telinganya juga kelihatan merah dan kadang-kadang tak dapat mendengar nasihat orang lain, mulutnya terlihat gemetar dan menyemburkan caci-maki dan sumpah serapah serta kata-kata yang tidak sopan sama sekali, otak dan akal pikirannya kehilangan pertimbangan yang waras, karena dikuasai oleh amarahnya yang melampaui batas itu.
Darah yang mendidih itu juga menyebar sehingga tangannya gemetar dan mengepal serta diacung-acungkannya kepada lawannya. Kakinya pun mulai membuat langkah persiapan untuk menyerang.
karena itulah Nabi saw. menyebutkan dalam Hadits :
" Jagalah diri kalian dari ghadlab (marah), karena ia laksana bara api yang dinyalakan di dalam hati manusia. Bukankah kalian melihat mengembangnya leher dan memerahnya kedua biji matanya?".
Adapun kemurkaan Allah, dimanifestasikan dalam bentuk siksaan yang diberikan kepada orang yang bersalah, sehingga orang itu merasa gundah hati, sakit dan sebagainya, atau orang itu dikembalikan berjalan di jalan yang diridhoi Allah.
Allah telah memberitahukan hamba-Nya bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Dia. Juga Allah memberitahukan bahwa sifat kasih sayang kepada hamba-Nya berupa pahala dan karunia-Nya lebih didahulukan daripada hukuman dan siksa-Nya. Karena itulah Allah berfirman dalam surat al-Hijr :
" Beritakanlah kepada semua hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Akulah Yang Maha Pengampun dan Maha Pengasih, dan bahwa siksa-Ku adalah siksaan yang maha pedih". (Q.S. 15 al-Hijr : 49-50)
Didahulukannya rahmat atas kemurkaan-Nya itu adalah karunia dan kemurahan-Nya.
Barang siapa yang beriman dan percaya kepada-Nya, iman yang benar dan percaya yang sungguh-sungguh serta mengaku dan menetapkan kewahdaniatan-Nya (Keesaan-Nya), mengaku dan menetapkan dengan sepenuh hatinya kerasulan Nabi Muhammad, maka Allah swt. akan menempatkannya di dalam surga, suatu tempat ni'mat dan karunia yang maha besar lagi kekal dan abadi. 
Dapatlah kita ambil pengertian bahwa sudah tentu tidaklah cukup dengan hanya semata-mata penyaksian lisan saja, sebab yang dinamakan "iman" adalah i'tiqad dan percaya dengan hati, pengakuan dengan lidah, dan pelaksanaan dengan seluruh anggota. Kalau sudah percaya dengan hati akan ke-Esaan Allah dan diucapkannya pula pengakuan itu dengan lidahnya (dua kalimah syahadat), hendaknya ia melaksanakan semua ajaran yang berupa perintah dan larangan Allah dengan tulus ikhlas dan sepenuh hati. Dengan demikian barulah ia berhak mendapatkan surga seperti yang telah dijanjikan dalam Hadits Qudsi di atas.
Syahadatut-Tauhid atau penyaksian terhadap ke-Esaan Allah dengan ucapan "La Ilaha Illallah" itu, menuntut beberapa hak, beberapa ketentuan, dan beberapa kewajiban. Demikian juga Syahadaturrisalah "anna Muhammadar-Rasulullah", menuntut keharusan mengikuti petunjuk beliau dengan melaksanakan sunnahnya.
Barangsiapa yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut dengan penuh keikhlasan, ia berhak mendapatkan surga sebagaimana yang telah dijanjikan.             

YANG BAIK DI TANGAN ALLAH

Firman Allah swt. dalam Hadits Qudsi :
" Sesungguhnya orang yang mengatakan : " Hujan telah turun kepada kita karena adanya bintang anu' dan bintang anu'." Sebenarnya orang itu telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang yang disebutnya.
Dan orang-orang yang mengatakan : " Sesungguhnya Allah telah menyiramkan air hujan kepadaku", sebenarnya orang itu telah beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang yang disebutnya." ( HQR Thabarani di dalam kitab Al-Ausath yang bersumber dari Ibnu Mas'ud r.a.)

Kata "Nau'" di atas, artinya bintang yang sudah condong untuk terbenam. Seorang ahli bahasa Arab yang sangat terkenal, ibnul Atsir dalam "Nihayah"-nya, menerangkan bahwa "nau" itu, semuanya ada dua puluh delapan. Masing-masing nau' yang dua puluh delapan itu disebut manzilah yang artinya tempat persinggahan (karena setiap malam, bulan singgah pada setiap nau' itu). Allah berfirman :
" Dan bulan kami takdirkan singgah pada beberapa manzilah (tempat persinggahan)". (Q.S. 36 Yasin : 39)
Setiap 13 malam, masing-masing manzilah itu terbenam di sebelah barat bersamaan terbit fajar, sedang di sebelah timur terbit manzilah lainnya. Demikianlah berlalu hingga akhir tahun.
Maha Suci Allah yang telah mengedarkan kesemuanya dalam orbitnya masing-masing.
Bangsa Arab dahulu mempercayai datang hujan itu disebabkan terbenamnya manzilah yang satu dan timbulnya manzilah lainnya, sehingga mereka mengatakan : " Hujan turun oleh karena bintang (nau') anu tenggelam dan timbulnya nau' anu." Jelasnya mereka mengitikadkan bahwa adanya hujan atau tidak, atau perubahan angin ialah karena bintang (nau') itu.
Kepercayaan kepada selain Allah seperti itu, adalah kufur dan ingkar kepada Allah. Karena itulah dalam hadits di atas disebutkan secara tegas hukumnya.
Adapun orang yang mengitikadkan bahwa hujan itu memang sebenarnya dari Allah swt. dan berkata : " Hujan turun kepada kita". Sebagai pengganti kalimat, " Allah menurunkan hujan kepada kita bersamaan dengan timbulnya bintang itu", sudah barang tentu tidak menjadi kafir. Sebenarnya orang tersebut mengatakan Allah swt. itulah yang sesungguhnya menjalankan sunnah menurunkan hujan pada waktu-waktu bertepatan seperti tersebut di atas.
Meskipun demikian para Ulama' menganggap bahwa ucapan atau kata-kata yang menimbulkan kekeliruan maksud, lebih baik dihindari. Apalagi yang menyangkut kekuasaan Allah, langsung disandarkan kepada Allah swt.
Kata "kafara" atau kufrun, asal ma'nanya menutup dan melindungi sesuatu dari pandangan, sehingga benar-benar tidak tampak dantidak kelihatan.
Para Ulama' menerangkan bahwa "kufrun" itu lawan "iman" dan kufrun terbagi pada :
1. Kufrun Inkar, seperti kufurnya kaum komunis, mengingkari adanya Allah swt. Tidak mau tahu dan tidak mau mengenal Allah swt.
2. kufur Juhud, seperti inkar dan kufurnya iblis karena sebenarnya dia kenal dan tahu akan Allah dalam hati sanubarinya namun tidak mengaku dengan lidahnya.
3. Kufur Inad, yaitu inkar semata-mata karena keras kepala walaupun hati dan lidahnya mengakui adanya Allah, akan tetapi tidak tunduk dan taat kepada-Nya disebabkan iri dan dengki, atau menunjukkan kebangkangannya, misalnya kufurnya Abu Jahal dan yang sebangsanya.
4. Kufur Nifak, yaitu mengakui adanya Allah swt. dengan lidahnya akan tetapi hatinya tetap ingkar.
Para Ulama' mengemukakan bahwa seseorang dapat digolongkan "kufur" apabila mengingkari salah satu ketentuan Islam, akan tetapi tidak digolongkan kepada orang yang tidak beriman.
Termasuk dalam golongan ini ialah kufrun ni'mah sebagai bagian dari "kufrul-'asyir". Nabi saw. pernah bersabda kepada Aisyah r.a. bahwa kaum wanita sering melakukannya. Kufur Asyir' artinya mengingkari budi baik yang pernah diterimanya. Misalnya pada waktu siang, istri marah-marah pada suami dengan berkata, " Engkau tidak pernah memberi belanja kepadaku", atau : " Engkau tidak pernah membawa aku berjalan-jalan", atau " Engkau tidak pernah membelikan aku pakaian". Ucapan seperti ini termasuk kufur asyir'.
Termasuk dalam kategori kufrun ni'mah' atau pengingkaran tarhadap ni'mat Allah, tapi tidak sampai keluar dari daerah iman, ialah melakukan maksiat yang sebangsa tabdzir (pemborosan harta, waktu yang bukan pada tempatnya).
"Kufur" yang diartikan "membungkus" dan "menutupi" sesuatu hingga tidak kelihatan, ialah kata "takfurun" dalam Q.S. 3 Ali-Imran : 101.
"Takfurun" di situ artinya bukan kafir dan inkar kepada Allah, tetapi maksudnya menutupi keadaan yang tadinya baik dan harmonis serta rukun dan damai, antara sesama mereka. Kita artikan demikian, karena sababun-Nuzul (sebab turunnya) ayat itu melukiskan beberapa orang dari Qabilah Aus dan Qabilah Khadzraj berbantahan, menyebut-nyebut permusuhan dahulu sebelum mereka masuk Islam, sehingga hampir saja mengakibatkan pertempuran hebat. Sebagaimana kita ketahui dari sejarah, bahwa kedua Qabilah itu sebelum Islam datang (menyinari kota mereka), senantiasa dicekam permusuhan dan pertempuran antara sesama mereka selama delapan puluh tahun. maka turunlah ayat di atas untuk menyadarkan mereka kembali, sehingga hidup rukun dan damai dalam ikatan ukhuwah Islamiyah'' ( K.H. Qamaruddin Shaleh: Asbabun Nuzul, hal. 98-99. Tafsir Jalalain hal. 72).
Dalam Hadits Qudsi tersebut di atas Allah telah memberitakan kepada kita, bahwa ada sebagian orang yang tidak hati-hati mengucapkan perkataan, sehingga terkadang dengan ucapannya itu tergelincir jadi orang kufur kepada Allah. Oleh karena itu segala hal yang langsung berkenaan dengan ciptaan atau perbuatan Allah, sebaiknya langsung disandarkan kepada-Nya tanpa mengucapkan hal-hal yang kira-kira meragukan orang akan itikad dan kepercayaannya. Misalnya ucapan, " Turunnya hujan yang menyirami kita disebabkan adanya bintang anu' dan bintang anu'". Menurut Hadits Qudsi di atas hal seperti di itu jelas menjadikan kafir kepada Allah, menyebabkan imannya diragukan.
Dalam Al-Quran banyak terdapa ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah swt.-lah yang menurunkan hujan :

" Akan dikirimkan kepada kalian awan yang menurunkan hujan lebat". (Q.S. 11 Hud : 52)

" Dan Kami turunkan dari awan, air yang tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, dan kebun yang rimbun". (Q.S. 78 an-Naba : 14-16) 

Sabtu, 05 Februari 2011

AKIBAT KEDHALIMAN

Allah berfirman dalam Hadits Qudsi :
Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Daud a.s : " Katakanlah kepada orang-orang yang melakukan kedholiman janganlah kalian berdzikir kepada-Ku (kecuali setelah bertaubat atau dalam usaha bertaubat) karena aku selalu memperhatikan orang yang berdzikir kepada-Ku. Tetapi perhatian-Ku terhadap orang (yang melakukan kedhaliman) berupa la'nat kepada mereka."
( HQR. Hakim dalam kitab tarikhnya, dan Dailami dan Ibnu 'Asakir' yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a.)

      Asal ma'na "kedhaliman" ialah aniaya dan melampaui batas yang telah ditentukan. Arti dhalim menurut ahli bahasa dan kebanyakan Ulama' ialah :  " Meletakkan sesuatu bukan pada tempat yang semestinya. Baik mengurangi, menambah atau mengubah waktu, tempat atau letaknya." Oleh karena itu kata kedhaliman diartikan sebagai penyimpangan dari ketentuan, baik besar ataupun kecil. Dikatakan orang itu dhalim apabila dosa sekalipun kecil, apalagi besar. Sebagian Hukama (Hukama : (dalam text ini) Ahli Filsafat Islam) membagi kedhaliman itu menjadi tiga :
1. Kedhaliman manusia terhadap Allah swt. : 
    Kedhaliman yang terbesar dari jenis ini adalah kufur (mengingkari Allah), syirik (menyekutukan Allah) dan nifaq' (mengaku beriman dengan lidahnya akan tetapi bathinnya menolak). Nifaq' yaitu menyembunyikan sikap kufur dalam bathin dengan memperlihatkan seolah-olah beriman (Ta'rifat hal. 219).
Allah berfirman dalam Al-Quran :
" Sesungguhnya menyekutukan Allah itu termasuk kedhaliman yang besar." (Q.S. 31 al-Lukman : 13)
" Siapakah yang lebih dhalim dari orang yang membohongkan' Allah. (Q.S. 39 az-Zumar : 32)
Keterangan : 'menganggap Allah bersekutu, beristri dan beranak. 
2. Kedhaliman manusia dengan sesamanya,  yaitu berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain rugi karena perbuatannya seperti melanggar janji, takabur, membuat keonaran dan sebagainya.
Kedhaliman inilah yang dimaksud dengan firman Allah :
" balasan terhadap yang jahat setimpal dengan kejahatannya. barangsiapa yang suka memaafkan dan berlaku damai, pahalanya akan dijamin Allah, karena sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melakukan kedhaliman." (Q.S. 42 as-Syura : 40)
3. Kedhaliman terhadap dirinya sendiri, yaitu berbuat maksiat dan kedurhakaan, seperti berzina, minum-minuman keras, dan melanggar larangan Allah, mengurangi atau menambah ketentuan yang ditetapkan Allah swt. dan sebagainya. Inilah yang dimaksud dalam Ayat :
" Ada sebagian dari mereka yang berlaku aniaya terhadap dirinya sendiri." (Q.S. 35 Fathir : 32)
    Tiga macam kedhaliman itu, pada hakikatnya bertitik tolak pada satu, yakni kedholiman terhadap diri sendiri. Orang yang hendak melakukan kedholiman terhadap orang lain, sebenarnya berarti telah mendhalimi dirinya sendiri. Si pendholim itulah yang pertama kali menderita akibat perbuatan dhalimnya, sedang orang lain, hanya sebagai akibat sekunder dari perbuatan dholim orang itu. Sebab itu Allah berfirman dengan jelas dalam Al-Quran :
" Dan barangsiapa yang melakukan demikian', sesungguhnya ia telah menganiaya dirinya sendiri." (Q.S 2 al-Baqarah : 231)
Keterangan : Di antaranya mentalak wanita waktu haid sehingga memperpanjang waktu iddah
" Dan mereka tidak menganiaya Kami, akan tetapi menganiaya diri mereka sendiri." (Q.S. 2 al-Baqarah : 57)
Allah swt. telah mewahyukan kepada Nabi dan Rasul-Nya :
     Daud a.s. agar melarang orang yang sedang melakukan kedhaliman mengatas namakan perbuatannya itu atas nama Allah atau menyebut-nyebut salah satu sifat-sifat-Nya. Seringkali orang yang melakukan kedhaliman, berpura-pura dzikir kepada Allah, seolah-olah hendak menipu Allah. Padahal orang yang melakukan dzikir dengan sesungguhnya, pasti akan menghentikan kedhalimannya, dan mereka merasa enggan atau ngeri melakukan kedhaliman. Orang yang seolah-olah berdzikir itulah yang telah menipu dirinya sendiri tanpa disadarinya.
    Allah berjanji akan selalu ingat kepada orang yang dzikir kepada-Nya dengan melimpahkan rahmat dan karunia dan ampunan-Nya. Akan tetapi bagi orang yang berpura-pura dzikir kepada Allah di saat melakukan kedhaliman, Allah akan ingat pula dengan mela'nat atau mengutuknya, sesuai dengan perbuatan yang tidak diridhai-Nya itu.
Sehubungan dengan dzikir (ingat kepada Allah) di dalam Al-Quran terdapat banyak sekali ayat-ayat yang mementingkan dan mengutamakan dzikir, di antaranya :

" Sesungguhnya dalam menciptakan kejadian langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, benar-benar menjadi bukti (keterangan) bagi orang-orang yang mengerti. Orang-orang yang suka berdzikir kepada Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka merenungkan dan menganalisa kejadian langit dan bumi, (sampai berkesimpulan) : Rabbana, tidak sia-sia Engkau ciptakan ini. Maha Suci Engkau. Peliharalah kami dari siksa neraka." (Q.S. 3 Ali-Imran : 190-191)

" Orang yang ruju' kepada Allah adalah orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi tentram karena dzikir kepada Allah. Perhatikan bahwa dzikir kepada Allah ( menyebabkan) hati menjadi tenang." (Q.S. 13 ar-Ra'd : 28)
Keterangan : Ruju' kepada Allah menerima yang hak. 
 ( Hadits Qudsi, K.H. M. Ali Usman - H. A.A. Dahlan - Prof. Dr. H. M.D. Dahlan)