Allah swt. berfirman dalam Hadits Qudsi kepada Nabi Musa as :" Hai Musa!, Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku. Sungguh, makhluk hidup pasti mati melihat-Ku, yang kering pasti mengering kering kerontang, yang basah pasti bertaburan. Yang dapat melihat-Ku hanyalah para penghuni surga yang tidak akan mati pandangannya dan tidak akan hancur binasa tubuhnya." (HQR al-Hakim yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a)
Allah telah mewahyukan kepada Nabi Musa as yang menerangkan bahwa beliau tidak akan dapat melihat khaliqnya selama masih hidup dalam alam dunia ini dan selama dalam keadaan kemanusiaannya. Tidak akan ada kesanggupan untuk yang demikian itu dan tidak akan ada kesiapan untuk melakukan hal itu. Allah swt. tidak akan dapat di pandang oleh mata dan tidak dapat pula dirasa dengan alat indera. Dia tidak dapat diserupakan dengan sesuatu makhluk atau dibandingkan dengan benda. Hal itu jelas diterangkan di dalam Al-Quran :
" Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan, sedang Dia dapat mencapai segala penglihatan, karena Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Q.S. 6 al-An'am : 103)
Kemungkinan sekali Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Musa as seperti di atas karena Nabi Musa sendiri memohon kepada Allah swt untuk dapat melihat-Nya. Dugaan ini diperkuat dengan firman Allah :
" Dan ketika Musa datang (munajat kepada kami) pada waktu yang ditentukan dan Allah telah berfirman (langsung) kepadanya, Musa berkata : " Ya Rabbi, nampakkanlah diri-Mu agar aku dapat melihat-Mu." Allah berfirman : " Sekali-kali kamu tidak akan dapat melihat-Ku, tetapi lihatlah gunung itu. Jika ia tetap pada tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Ketika Allah menampakkan diri kepada gunung tadi, gunung tersebut hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah siuman Musa berkata : " Maha Suci Engkau, aku taubat kepada-Mu dan akulah orang yang pertama-tama beriman." (Q.S. 7 al-A'raf : 143).
Tafsir Baidlawi (Abdullah bin Umar al-Baidlawi, Anwarut tanzil wa asrarut ta'wil (tafsir Baidlawi), Musthafa Babi Alhalabi, Mesir, 1955, hal. 172.) :
Dalam menafsirkan ayat ini mengemukakan bahwa ketika Nabi Musa datang pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah untuk menerima wahyu, Musa memohon pada-Nya : " Ya Rabb perlihatkanlah diri-Mu dengan cara yang memungkinkan aku dapat melihat-Mu, atau Engkau menampakkan diri-Mu kepadaku sehingga aku dapat melihat Dzat-Mu". Permohonan Nabi Musa ini membuktikan bahwa melihat dan memandang Allah adalah hal yang mungkin, sebab mustahil seorang Nabi memohon yang mustahil. Namun Allah menolak permohonan Musa dengan firman-Nya : " Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku".
Sesungguhnya melihat Allah itu tergantung kepada kesiapan khusus. Kekhususan ini tidak dimiliki Nabi Musa as sebagai bukti ketidaksiapan Nabi Musa as. Allah berfirman : " Lihatlah gunung itu, jika ia tetap pada tempatnya seperti sediakala, niscaya engkau akan dapat melihat-Ku".
Allah swt. memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan-Nya pada gunung itu, ternyata hancur luluh menjadi rata, dan Musa pun jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan karena dahsyat-Nya. Ketika telah siuman, Musa berkata dengan ta'dhimnya : " maha Suci Engkau Ya Rabbi. Aku taubat kepada-Mu karena kelancanganku untuk memohon agar dapat melihat-Mu, tanpa idzin-Mu, dan akulah yang pertama beriman".
Dengan kejadian di atas, Allah swt seolah-olah hendak menunjukkan kepada Nabi Musa akan kekuatan diri pribadi Musa, apabila permohonannya dikabulkan. Hal itu di buktikan dengan hancur-leburnya gunung yang lebih tangguh dan tegap yang terpancang tegak dengan megahnya. Kehancurannya disebabkan karena tidak mampu melihat Kebesaran dan Keagungan Allah swt.
Apalah lagi seorang manusia yang hanya terdiri atas benda-benda lembut, daging, darah, dan perasaan yang badannya tidak sekokoh dan setegap gunung, pasti tidak akan mampu melihat Keagungan Allah swt. Hadits Qudsi tersebut diatas menegaskan bahwa tidak mungkin makhluk yang hidup mampu melihat Allah tanpa kesiapan khusus, malah makhluk hidup ini pasti mati karena Kebesaran dan Kehebatan Allah swt. Demikian juga halnya benda-benda kering yang keras akan bergoncang terguling-guling, malah menunjukkan bahwa sekalian makhluk ini, tidak sanggup atau tidak mempunyai kekuatan untuk melihat Allah swt. dalam dunia yang fana ini, tanpa karunia khusus dari Allah swt.
Selanjutnya Hadits Qudsi di atas menegaskan bahwa penduduk dan penghuni surgalah yang hanya dapat melihat Allah swt pada hari kiamat kelak. Mereka akan dikaruniai Allah kekuatan, kesanggupan, dan kesiapan sehingga memperoleh rasa nikmat memandang dzat Allah swt kelak. Mereka ini diciptakan kembali oleh Allah swt. dengan sifat-sifat kesempurnaan, kekal selama-lamanya dan hilang segala macam sifat kekurangan dan kelemahan yang terdapat pada manusia duniawi.
Dalam masalah "memandang Allah swt" terdapat beberapa pendapat para Ulama' ada yang berpendapat bahwa kita kelak dapat melihat secara mutlak' (Ahmad Musthafa al-Maraghi, tafsir al-Maraghi Juz 29, musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, 1966, hal. 152-153) dan ada pula yang berpendapat bahwa kita tidak dapat melihat sama sekali. yang terdekat pada akal kita adalah bahwa soal "memandang Allah" ini "tidak mungkin" terjadi di dalam dunia ini, tetapi "mungkin", di alam akhirat kelak bagi orang yang dikehendaki dan diridhoi Allah swt untuk dapat menikmatinya. Wallahu A'lam
Dalam tafsir al-Manar, S. Muhammad Rasyid Ridla (S. Muh Rasyid Ridla : Tafsirul Quranil Hakim ( Tafsir al-Manar) Juz IX. Darul Ma'rifah. Beirut, cet. ke-II hal. 177-178) menerangkan soal ru'yah "memandang Allah" itu sebagai berikut :
a. Ni'mat ru'yatullah (memandang Allah) itu adalah ni'mat ruhani yang tertinggi dan tersempurna. Manusia dapat meni'mati dan mencapainya kelak di dalam surga, perkampungan yang mulia di ridhoi Allah swt.
b. "Memandang Allah" kelak di akhirat adalah haq dan benar bagi hamba-hamba Allah yang di ridhoi Allah swt.
c. Ru'yatullah itulah yang cepat dituju oleh firman Allah swt dalam kitab suci-Nya.
" Tiadalah satu pun yang dapat mengetahui apa yang disembunyikan dan dirahasiakan kepada mereka dari yang menyedapkan pandangan mata" (Q.S. 32 as-Sajdah : 17)
Dalam Hadits Qudsi yang diriwayatkan Rasulullah saw disebutkan Allah swt. berfirman :
" Aku telah sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shaleh, ni'mat-ni'mat dan kesenangan yang tidak pernah terlihat oleh pandangan mata, tidak pernah terdengarc oleh telinga dan tidak pernah terlintas di dalam hati manusia." (HQR Ahmad dan Syaikhani)
d. Para Ulama salaf sepakat bahwa ru'yatullah (memandang Allah) itu kaifa (tidak diketahui bagaimana caranya) dan wallahu A'lam. Memang dalam soal ru'yatullah ini, pendapat salaf itulah yang rasanya menentramkan hati dan menetapkan pikiran yang dikuatkan ilmu dan akal, serta berserah diri (tafwidl) kepada Allah swt Yang Maha Mengetahui hakikat yang sebenarnya dan Maha mengetahui segala sesuatunya. Allah swt dengan jelas menegaskan dalam surat al-Qiamah :
"Wajah-wajah (kaum mu'minin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabnyalah mereka memandang." (Q.S. 75 al-Qiamah : 22, 23)